Rupiah Belum Terbendung! Dekati Rekor Terkuat 2023

Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

 Nilai tukar rupiah sempat melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (11/4/2023). Namun, perlahan Mata Uang Garuda berbalik menguat hingga menyentuh Rp 14.865/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 2 Februari, saat itu rupiah menyentuh Rp 14.830/US$ yang menjadi rekor terkuat 2023.

Pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah berakhir di Rp 14.881/US$, menguat 0,12% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Bank Indonesia (BI) kemarin melaporkan melaporkan cadangan devisa per akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari Februari.

Setelah mengalami tren penurunan yang panjang, cadangan devisa akhirnya mampu naik lima bulan beruntun. Selama periode tersebut, Cadev sudah melesat US$ 15 miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar yang dicapai pada September 2021.

Posisi cadangan devisa saat ini berada di level tertinggi sejak Desember 2021.

Meski demikian, data tersebut belum memberikan dampak yang besar, sebab kenaikannya terjadi karena penarikan pinjaman pemerintah.

“Peningkatan posisi cadangan devisa pada Maret 2023 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah,” tulis BI dalam keterangan resminya, Senin (10/4/2023).

Sementara untuk operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang dikeluarkan BI sejak 1 Maret lalu masih belum memberikan dampak yang signifikan terhadap cadangan devisa. Tetapi setidaknya dengan cadangan devisa yang meningkat, BI punya lebih banyak amunisi untuk melakukan intervensi, sehingga stabilitas rupiah bisa lebih terjaga.

Pelaku pasar saat ini menanti rilis data inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Amerika Serikat yang bisa menentukan kebijakan moneter The Fed.

Data tersebut akan dirilis pada Rabu nanti, berdasarkan survei Reuters CPI diprediksi tumbuh 5,2% year-on-year (yoy) pada Maret, turun dari bulan sebelumnya 6% (yoy). Namun, yang menjadi masalah, CPI inti diprediksi tumbuh 5,6% (yoy) lebih tinggi dari sebelumnya 5,5% (yoy).

CPI inti tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, artinya inflasi di sektor yang tidak volatil sulit turun. Dengan demikian, ada risiko The Fed akan kembali agresif menaikkan suku bunganya, apalagi pasar tenaga kerja masih kuat dan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) juga sulit turun.

Tetapi di sisi lain, setelah kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) kesehatan perekonomian AS mulai diragukan. Sehingga pasar menjadi sulit memprediksi ke mana arah kebijakan The Fed nantinya.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*