Beberapa negara dunia telah memulai proses untuk menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Langkah ini dimulai oleh China, Rusia, dan sekutunya dalam aliansi dagang BRICS sesaat setelah Barat menjatuhkan sanksi terhadap Moskow.
Nyatanya, langkah serupa juga sedang dilakukan oleh Indonesia. Hal ini terlihat dari pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral Asean di Indonesia pada 30-31 Maret lalu yang menghasilkan poin untuk menghindari ketergantungan dolar.
“Asean sepakat untuk menegaskan kembali ketahanan, di antara lain dengan penggunaan mata uang lokal untuk mendukung perdagangan dan investasi lintas batas di kawasan Asean,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, pekan lalu kepada CNBC Indonesia.
Secara khusus, lima negara Asean, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah meneken kerjasama transaksi pembayaran lintas batas sejak November 2022, di tengah pelaksanaan KTT G20 Indonesia.
Kerja sama pembayaran lintas batas 5 negara Asean tersebut mencakup kode QR, fast payment, data, RTGS, dan transaksi mata uang lokal.
Dalam Keketuaan Asean 2023, Perry mengklaim Indonesia kemudian berhasil mendorong lima anggota negara Asean lainnya untuk melakukan kerjasama melakukan transaksi meninggalkan dolar AS.
“Jadi konektivitas Asean bukan hanya 5, tapi akan diperluas menjadi 10 dan akan diperluas secara global dengan proyek berikutnya,” jelas Perry.
Vietnam, kata Perry menjadi salah satu negara yang siap lebih dahulu dalam mengimplementasikan perjanjian pembayaran lintas batas negara ini, lewat skema LCT. Kemudian, tiga negara Asean lainnya, seperti Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam juga tertarik untuk bekerja sama.
Sementara itu, Indonesia juga dikabarkan sedang berupaya untuk bergabung dengan BRICS. Aliansi dagang ini sendiri notabenenya adalah saingan pakta G7 pimpinan AS.
“Saya mendengar presiden saya berbicara untuk itu (keanggotaan penuh dalam integrasi) selama KTT BRICS. Ada kemungkinan bagi Indonesia untuk bergabung sepenuhnya dengan BRICS,” kata duta besar RI untuk Rusia, Jose Tavares, dalam sebuah wawancara dengan kantor berita negara TASS Oktober 2022 lalu
Hal ini juga sempat ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov. Akhir Februari lalu, ia mengatakan banyak negara penting di kawasannya masing masing ingin bergabung seperti Indonesia, Turki, Meksiko, Argentina, Arab Saudi, UEA, Mesir dan sejumlah negara Afrika lainnya.
“Selama beberapa tahun terakhir, jumlah negara yang ingin bergabung dengan BRICS dan SCO (Organisasi Kerja Sama Shanghai) meningkat pesat. Sudah ada sekitar dua lusin negara,” papar Lavrov.
Indonesia sendiri sejauh ini tidak mengambil sikap keras terhadap Rusia. Meski ikut meloloskan resolusi PBB terkait permintaan agar Moskow menarik pasukannya, RI tidak menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu.
Indonesia juga beberapa kali aktif dalam meredakan ketegangan antara Rusia dengan Ukraina dan sekutu Baratnya, Pada KTT G20 November lalu, Presiden RI Joko Widodo berupaya mengundang Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam forum tersebut.